Selasa, 29 Juni 2021

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 1.4

 

KONEKSI ANTAR MATERI
MODUL 1.4.a. 9

PENTINGNYA MEMBENTUK BUDAYA SEKOLAH

DALAM MEWUJUDKAN VISI SEKOLAH

 

Oleh: Sujianto, S.Pd

Guru SMAN 1 Kepanjen

CGP Angkatan 2 Kab. Malang

 


A.   Latar Belakang

Dalam Tujuan Pendidikan nasional kita mengetahui bahwa yang akan diwujudkan adalah perubahan perilaku siswa. Dalam kaitannya perubahan perilaku ini perlu adanya pembiasaan yang dilakukan secara kontinyu dan tegas serta adanya kontrol keberhasilannya. Guru sebagai aktor utama tentunya mempunyai peranan yang besar dalam pelaksanaannya. Tentunya seorang guru harus mempunyai kompetensi dan kemampuan yang baik. Siswa sebagai obyek yang diharapkan untuk mengalami perubahan perilaku harus diberi kebebasan dalam menentukan kearah mana masa depannya ingin di gapai. Munculnya perubahan perilaku pada siswa diharapkan muncul secara sadar dan dari mereka sendiri (Instrinsik), bukan karena keterpaksaan atau tekanan dari pihak luar (ekstrinsik).

Budaya sekolah merupakan salah satu implementasi yang harus dibangun pada suatu lembaga sekolah agar terjadi pembiasaan dan keterlaksanaan disiplin positif yang ada di sekolah tersebut. Tentunya hal ini harus dilaksanakan dan dikerjakan oleh semua unsur yang ada di sekolah tersebut. Tetapi semuanya kembali pada Guru yang memegang peranan penting pada pelaksanaannya.

Hal inilah yang menjadikan kami untuk menuliskan “Pentingnya Membentuk Budaya Sekolah Dalam Mewujudkan Visi sekolah

 

B.   Rumusan Masalah

Dalam pembuatan rumusan masalah ini kita batasi dengan materi yang sudah kita dapatkan pada modul modul sebelumnya pada kegiatan Pendidikan Guru Penggerak yaitu:

1.    Modul 1.1 Filosofi Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara

2.    Modul 1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak

3.    Modul 1.3 Visi Guru Penggerak

4.    Modul 1.4 Budaya sekolah

Adapun Rumusan masalah yang dapat kita buat yaitu:

1.    Bagaimana bagan atau peta konsep yang menggambarkan kaitan antara materi dalam modul ini?

2.    Apakah Pengertian Budaya Sekolah dan Budaya Positif?

3.    Siapakah Yang berperan dalam mewujudkan budaya positif di Sekolah?

4.    Apakah Landasan dari budaya positif?

5.    Bagian mana dari modul sebelumnya yang berkaitan dan mendukung budaya positif?

6.    Bagaimana peran guru penggerak dalam menularkan kebiasaan baik kepada guru lain dalam membangun budaya positif di sekolah? 

7.    Bagaimana guru penggerak bisa menumbuhkan budaya positif di kelas menjadi budaya positif sekolah dan menjadi visi sekolah? 

C.   Maksud dan Tujuan Penulisan

    Maksud dan tujuan penulisan ini adalah:

1.    Dapat membuat peta konsep yang menggambarkan kaitan antara materi dalam modul ini.

2.    Dapat menjelaskan pengertian Budaya sekolah dan budaya positif.

3.    Dapat mengetahui siapa saja yang berperan dalam mewujudkan budaya di sekolah..

4.    Dapat menjelaskan landasan dari budaya positif.

5.    Dapat menjelaskan dari modul sebelumnya yang terkait dan mendukung budaya positif.

6.    Dapat menjelaskan peran guru penggerak dalam menularkan kebiasaan baik kepada guru lain dalam membangun budaya positif di sekolah.

7.    Dapat menjelaskan bagaimana guru penggerak dapat menumbuhkan budaya positif di kelas menjadi budaya positif sekolah dan menjadi visi sekolah.

 

D.   Pembahasan Masalah

1.    Bagan atau peta konsep yang menggambarkan kaitan antara materi dalam modul ini

 


Dari Bagan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Dalam membentuk Budaya sekolah seorang guru harus memahami tentang Filisofi pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara, nilai dan Peran guru penggerak serta visi Guru Penggerak.

Karena seorang guru merupakan komponen utama pada perwujudan budaya sekolah terjadi interaksi antara guru dan murid dalam membangun budaya sekolah. Dengan memahami materi pada modul sebelumnya seorang guru dapat mengarahkan dan menuntun siswa dalam membuat Budaya sekolah melalui pembuatan Kesepakatan dengan tujuan akhir seperti yang tercantum pada Tujuan Pendidikan Nasional dan di wujudkan dalam bentuk Profil Pelajar Pancasila.

 

2.    Apakah Pengertian Budaya Sekolah dan Budaya Positif?

2.1  Pengertian Budaya Sekolah

Budaya sekolah menurut Fullan (2007) adalah keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang terlihat dari bagaimana sekolah menjalankan aktivitas sehari-hari.

Budaya Sekolah menurut  Deal dan Peterson (1999) mendefinisikan budaya sekolah sebagai berbagai tradisi dan kebiasaan keseharian yang dibangun dalam jangka waktu yang lama oleh guru, murid, orang tua, dan staf administrasi yang bekerjasama dalam menghadapi berbagai krisis dan pencapaian. 

Dari kedua pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa  budaya sekolah merupakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang dibangun dalam jangka waktu lama yang tercermin pada sikap keseharian seluruh komponen sekolah.

Dalam kebanyakan sekolah di Indonesia, contoh budaya sekolah yang sudah berjalan dengan baik adalah budaya senyum, salam, dan sapa. Tentunya, budaya sekolah tersebut masih perlu dilaksanakan mengingat perannya yang dapat membuat sekolah menjadi lingkungan yang nyaman dan aman.. 

2.2  Pengertian Budaya Positif.

Budaya positif di sekolah ialah  nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab

3.    Siapakah Yang berperan dalam mewujudkan budaya positif di Sekolah?

    Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang peranan sentral. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab.

    Pihak yang berperan lainnya yaitu seluruh warga sekolah semuanya juga sangat berperan pada perwujudan Budaya Positif yang Akhirnya jadi budaya sekolah. Selain warga sekolah juga harus ada dukungan dari pihak luar sekolah misalnya orang tua atau wali serta Dinas yang terkait dengan pendidikan. Sehingga dapat kita simpulkan yang berperan dalam mewujudkan budaya positif di seklah meliputi Guru, Murid, Teman sejawat, Tenaga administrasi pendidikan, Stick Holder sekolah ( Kepala sekolah, wakil Kepala sekolah dan Staff). Selain itu yang berperan orang tua selaku pengontrol keterlaksanaan budaya di rumah dan juga sebagai pembiayaan. Juga tidak ketinggalan yang dapat berperan sebagai control budaya  sekolah adalah masyarakat dan Dinas Pendidikan terkait.

 

4.   Apakah Landasan dari budaya  positif?

Dalam mewujudkan budaya positif seorang guru merupakan pemegang peran kunci keberhasilannya. Guru akan berhasil mewujudkan Budaya positif jika memahami  dua landasan berikut:

1.    Posisi Kontrol Guru

2.    Disiplin Positif

4.1  Posisi Kontrol Guru

Bagi guru sangatlah penting  untuk memahami bagaimana guru harus memposisikan diri saat berhadapan dengan murid. Kita harus bisa melakukan refleksi “Guru seperti apakah kita selama ini?”. Dalam komponen kelas, posisi guru dapat dikatakan sebagai penggerak utama. Hal ini mewujudkan juga adanya kontrol guru dalam proses belajar mengajar.

Kita dapat membuat renungan pada diri kita dengan pertanyaan berikut ini. Posisi control guru seperti apakah yang dapat mewujudkan budaya positif di sekolah? Selama menjadi guru, sudahkah kita memposisikan diri kita secara tepat?

Berikut ada table 5 posisi guru menurut Gossen, 2004


    Dalam  menumbuhkan disiplin pada diri murid secara intrinstik, guru perlu berperan pada posisi kontrol manajer yang bertanya dan membuat kesepakatan kelas bila murid melakukan kesalahan atau pelanggaran, bukan menuduh, memberi hukuman atau sebagai teman yang membiarkan murid melakukan kesalahan atau pelanggaran yang berulang ulang.

Hal ini dilakukan karena pendidik sebagai pamong yaitu “menuntun” atau memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak diberi kebebasan, namun perlu  diberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Oleh karena itu, pada kesehariannya, pamong juga berperan sebagai pengontrol untuk mengingatkan murid jika berada dalam bahaya. Pada kesempatan lain, guru juga dapat berperan sebagai teman ketika berinteraksi agar dapat memahami murid dan membangun kedekatan.

Tetapi untuk posisi guru yang pertama yaitu guru penghukum dan pembuat rasa bersalah dihindarkan untuk dilaksanakan dikarenakan akibat karakter yang terbentuk sangat jelek sekali. Selain itu dengan kita menggunakan posisi control guru yang pertama (guru penghukum) dan kedua (guru pembuat siswa bersalah dampak psikologis anak terhadap pembelajaran tidak semangat. Juga dampak yang terjadi jika guru menerapkan posisi guru yang jedua akibat psikologinya murid kelihatan cemas dan ada perasaan yang tidak percaya diri.

Hal dapat kita simpulkan kita dapat memposisikan diri pada posisi 3, 4 dan 5. Atau dengan kata lain kita adakan perubahan pembukaannya pada penyelesaian masalahnya. Misalkan siswa kita ketahui melanggar  kesepakatan maka kita awali peembukan kita sebagai guru Penggerak;, Kalau kita gunakan   posisi control guru ketiga (psisi teman. Nah pada akhirnya kita digunakan  posisi yguru yang kelima yaitu posisi Manajer.

 

4.2  Disiplin Positif

 

4.2.1      Hukuman dan Disiplin

Dalam kita membicarakan disiplin tentunya sebagai pertama kali yang muncul adalah disiplin dan hukuman. Merka beranggapam untuk mendisiplikan siswa maka perlu dilakukan hukuman bagi mereka yang melanggar. Padahal disiplin dan hukuman adalah dua kata berbeda dan makna berbeda pula.

Dalam pandangan orang sering melihat 'disiplin' sebagai hal yang sama dengan 'hukuman', tetapi  disiplin dan hukuman adalah dua hal yang berbeda. Disiplin merujuk pada praktik mengajar atau melatih seseorang untuk mematuhi peraturan atau perilaku dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sementara hukuman dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku  murid, Srdangkan disiplin dimaksudkan untuk mengembangkan perilaku para murid tersebut serta mengajarkan murid tentang kontrol dan kepercayaan diri dengan berfokus pada apa yang mampu mereka pelajari.

Berikut Perbedaan Disiplin dan Hukuman (CJCP, 2012)

 

Disiplin

Hukuman

Memberikan murid alternatif positif

Memberi tahu murid apa yang tidak boleh dilakukan tanpa menjelaskan alasannya

Teratur, berkelanjutan, konsisten dan bertekad pada  proses.  Berorientasi pada instruksi.

Terjadi hanya ketika seorang murid kedapatan melakukan kesalahan atau mengalami masalah. Ini adalah tindakan terencana yang bertujuan membuat murid/murid merasa malu atau bahkan terhina.

Ucapan terima kasih dan penghargaan atas upaya dan perilaku yang baik

Hanya bereaksi kasar terhadap perilaku buruk

Memperhatikan sudut pandang murid; murid mengikuti aturan karena mereka membahas dan menyepakatinya

Tidak pernah atau jarang mendengarkan murid; murid mengikuti aturan karena mereka diancam atau disuap

Konsisten, memiliki panduan yang tegas

Mengontrol,               mempermalukan, menertawakan

Positif, menghormati murid

Negatif   dan    tidak  sopan    terhadap murid

Tanpa kekerasan fisik dan verbal

Dengan kekerasan fisik, verbal, dan agresif pada murid

Selanjutnya kita bisa memunculkan pertanyaan ,  “jika tidak ada hukuman, maka  bagaimana menghadapi murid yang melakukan pelanggaran atau kesalahan?”  Kita harus berpikir bijak pada anak didik kita, bahwa  pelanggaran atau kesalahan adalah kesempatan anak untuk belajar. Jika ditangani dengan tepat, kesalahan dapat menjadi momen yang baik agar anak mengetahui hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan lagi di masa mendatang. Anak juga akan lebih bertanggung jawab serta mengetahui bagaimana memperbaiki situasi yang dihadapinya.

Karena seorang anak memiliki budi pekerti maka kita berharap dari kesalahan yang telah mereka lakukan mereka dapat mengambil hikmahnya atau mengajak pada anak untuk berpikir positif setiap mereka melakukan perbuatan baik yang benar atau ksalahan. Menurut Nelsen (2021), berikut adalah cara kita merespon kesalahan agar menjadi pembelajaran yang baik bagi anak.

1.  Merespon kesalahan dengan kasih sayang dan kebaikan dibanding menyalahkan, menuduh dan menceramahi. 

2.  Berikan pertanyaan yang bisa menimbulkan diskusi tentang konsekuensi yang mungkin terjadi dari tindakannya.

3.  Melihat kesempatan terjadinya kesalahan untuk didiskusikan bersama anak atau dengan teman-teman lain.

Jika diperhatikan dengan seksama, ketiga cara diatas lebih mengedepankan konsekuensi daripada hukuman. Mengapa konsekuensi lebih dipilih untuk mewujudkan budaya positif dibanding hukuman? Hukuman bersifat satu arah dari guru ke murid dan seringkali tidak berhubungan dengan kesalahan murid. Sedangkan menurut Nelsen (2021), prinsip konsekuensi fokus pada masalah dan solusi sehingga konsekuensi berhubungan dengan perilaku, penuh hormat kepada murid, bersifat masuk akal dan bertujuan untuk membantu murid belajar.

4.2.2     Disiplin Positif

Menurut Nelsen, Lott & Glenn, 2000 Disiplin positif adalah sebuah model disiplin yang difokuskan pada perilaku positif murid agar menjadi pribadi yang penuh hormat dan bertanggung. Disiplin positif mengajarkan keterampilan sosial dan emosional dan keterampilan kehidupan yang penting dengan cara penuh hormat  dan membesarkan hati tidak hanya bagi murid tetapi juga bagi orang dewasa (termasuk orangtua, guru, staf administrasi dan lainnya). Kebalikan dari disiplin positif adalah disiplin negatif yang berfokus pada hukuman. Disiplin negatif cenderung menghambat perkembangan sosial, emosional dan keterampilan hidup murid. Dengan disiplin positif, guru diharapkan dapat mewujudkan budaya positif baik di kelas maupun sekolah.

Kriteria Disiplin Positif

Menurut Nelsen (2021 panduan dalam membangun hubungan dengan murid. Sebagai berikut:

1.    Bersikap baik dan tegas di saat yang bersamaan (menunjukkan sikap hormat dan memberi semangat).

2.    Membantu murid merasa dihargai dan memiliki keterikatan antara dirinya dengan guru dan teman di kelasnya, sehingga ia merasa menjadi bagian dari kelas.

3.    Memiliki komitmen untuk mempertimbangkan efektivitas dan dampak jangka panjang bagi proses belajar murid dari tindakan yang diambil (misalnya; pemberian hukuman bersifat dapat menyelesaikan masalah dalam jangka pendek, tetapi berpotensi memberikan dampak negatif dalam proses belajar pada anak yang bersifat jangka panjang). Dengan begitu, pendidik fokus pada perubahan dan peningkatan perilaku yang menetap, bukan hanya pada perilaku yang berhasil ditampakkan pada saat itu.

4.    Menerapkan disiplin positif berarti membekali murid dengan keterampilan sosial dan mendukung pertumbuhan karakter yang baik seperti rasa hormat, kepedulian terhadap orang lain, komunikasi yang efektif, pemecahan masalah, tanggung jawab kontribusi, kerja sama.

5.    Mengajak murid untuk menemukan bagaimana mereka mampu dan dapat menggunakan kekuatan diri mereka dengan cara yang membangun.

Kesepakatan Kelas

        Sebagai langkah awal kita dalam membentuk displin positif yang akhirnya menjadi budaya positif yaitu dengan membuat Kesepakatan Kelas. Kesepakatan ini dihasilkan pada saat guru dan murid terjadi interaksi. Seorang guru memberikan kebebasan pada murid untuk menyusun kesepakatan kelas sendiri, tentunya kita bisa mengarahkan agar kesepakatannya tidak keluar dari nilai nilai kemanusiaan. Adapun langkah langkah pembuatan Kesepakatan Kelas atau panduannya adalah:

1.     Tanya pendapat murid tentang harapan kelasnya secara individu, kelompok atau survey kelas

2.     Tanyakan ide pada murid tentang kelas impian

3.     Diskusikan tentang kesimpulan ide kelas impian

4.     Ubah ide tadi menjadi kesepakatan kelas

5.     Melakukan refleksi secara rutin

6.     Melakukan monitoring keterlaksanaan kesepakatan

Dalam menyusun kesepakatan kelas, guru perlu mempertimbangkan hal yang penting dan hal yang bisa dikesampingkan. Murid dapat mengalami kesulitan dalam mengingat banyak informasi, jadi susunlah 4 - 8 aturan untuk setiap kelas. Jika berlebihan, murid akan merasa kesulitan dan tidak mendapatkan makna dari kesepakatan kelas tersebut. Kesepakatan harus disusun dengan jelas sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari mereka. 

Kesepakatan yang disusun sebaiknya mudah dipahami dan dapat langsung dilakukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan kelas gunakan kalimat positif seperti, “Saling menghormati” ,“Berjalan jika berada di lorong kelas”. Kalimat positif lebih mudah dipahami murid dibandingkan kalimat negatif yang mengandung kata seperti, “dilarang” atau “tidak”. 

Kesepakatan perlu dapat diperbaiki dan dikembangkan secara berkala, seperti setiap awal semester. Untuk mempermudah pemahaman murid, kesepakatan dapat ditulis, digambar, atau disusun sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dan disadari oleh murid. Strategi lain adalah dengan mencetaknya di setiap buku laporan kegiatan murid. Hal ini menjadi strategi yang baik untuk meningkatkan komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah.

 

5.    Bagian mana dari modul sebelumnya yang berkaitan dan mendukung budaya positif?

 

Dari modul sebelumnya tentunya sangat berkaitan sekali dalam mendukung budaya positif.

 Dengan kita mempelajari Filosofi Ki hajar Dewantara kita mendapatkan bahwa dalam tujuan Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak anak  agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Dlam filosofinya Ki Hajar Dewantara juga kita dapatkan Setiap anak hidup dan tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri, Pendidik hanya dapat menuntun dan merawatnya saja. Dan dalam mendidik perlu diperhatikan kodrat alam dan kodrat Zaman.

Dari uraian diatas tentunya kita bisa melihat kaitannya dalam membentuk budaya Positif di sekolah. Karena seorang guru hanya bisa menuntun anaknya untuk mewujudkan budaya positif. Diharapkan budaya positif itu lahir dari usaha sadr murid untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Dan juga dengan kita memahami filosofi KI hajar Dewantara kita dapat memunculkan pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan.

Dengan kita memahami dan mengerti nilai dan peran guru penggerak kita dapat mengkaitkan dengan mewujudkan Budaya Positif pada sekolah kita. Dengan nilai guru penggerak mandiri, kolaboratif, inovatif, kreatif dan berpihak pada murid kita dapat membawa atau mendampingi siswa dalam membuat kesepakatan kelas dan pada akhirnya menjadi pengontrol dan manajer pada pelaksanaan kesepakatan tersebut. Dari Kesepakatan tersebutlah akan lahir disiplin positif dan akhirnya menjadi budaya sekolah.

Dengan kita mengetahui peran guru penggerak yaitu: Pemimpin pembelajaran, Menggerakkan Komunitas Praktisi, Menjadi Coach Bagi Guru Lain, Mendorong Kolaborasi Antar Guru, Mewujudkan Kepemimpinan Murid kita dapat melakukan kolaborasi dengan teman sejawat, dengan pimpinan atau dengan orang tua agar dapat mendukung terwujudnya budaya sekolah. Dari sini kita juga dapat menempatkan posisi guru yang mana yang tepat dalam membentuk budaya Positif. Dalam materi dan peran guru penggerak kita juga diajarkan untuk mengetahui emosi orang lain khususnya siswa,. Dengan mengetahui emosi kita dan orang lain menjadikan kita dapat menentukan posisi guru mana yang akan kita pilih.

Dengan kita mempelajari materi visi Guru penggerak kita dapat mengarahkan budaya positif apa yang akan kita inginkan. Disini dengan mengedepankan berpikir positif dan dengan menggunakan paradigma Inkuiri Apresiatif kita dapat menentukan tahapan tahapan dalam BAGJA akhirnya dapat diketahui kegiatan atau budaya apa yang harus kita kembangkan di sekolah kita.

Disini guru diharapkan punya mimpi ingin muridnya itu menjadi apa dan bagaimana caranya agar semua siswa dapat menikmati merdeka belajar secara terus menerus dan konsisten. Dengan kita mempunyai angan angan atau mimpi murid impian inikita juga dapat menempatkan posisi Guru yang terbaik dalam membuat Disiplin positif.

 

6.    Bagaimana peran guru penggerak dalam menularkan kebiasaan baik kepada guru lain dalam membangun budaya positif di sekolah?

Sesuai dengan peran guru penggerak yaitu Pemimpin pembelajaran, Menggerakkan Komunitas Praktisi, Menjadi Coach Bagi Guru Lain, Mendorong Kolaborasi Antar Guru maka kita bisa mengajak dan berkolaborasi dengan teman sejawat untuk membentuk atau menciptakan budaya Positif yang akhirnya menjadi budaya sekolah yang pada akhirnya semua guru dapat mengontrol pelaksanannya. Dengan kita menjadi coach pada teman sejawat kita dapat membantu mereka cara berkomunikasi dengan murid sesuai yang kita dapatkan di peran dan nilai guru penggerak kita, dalam menyusun

Kesepakatan kelas.Disini kita juga bisa menuampaikan apa yang kita dapatkan pada mereka dengan cara pengimbasan, Dengan pengimbasan inilah kita dapat membentuk komunitas praktisi yang mendukung terwujudnya budaya positif. Kita berprinsip jika kita dekati dengan hati dan perasaan tentunya ada dari teman sejawat yang mau untuk mendukung.

 

7.    Bagaimana guru penggerak bisa menumbuhkan budaya positif di kelas menjadi budaya positif sekolah dan menjadi visi sekolah? 

Dengan terciptanya budaya positif di kelas yang kita ajar, dapat disampaikan pada teman sejawat dan pimpinan untuk mengkritik atau memberikan saran tentang budaya positif di kelas kita. Dengan mereka memberikan saran dan kritik setidaknya mereka tahu kalau kita mencoba membuat budaya positif. Karena seorang guru adalah tauladan murid apabila sesudah memberikan saran dan kritik tentunya mereka akan tahu diri dan berusaha untuk mengikuti jejak kita. Apabila mayoritas guru sudah menciptakan dan melaksanakan budaya positif di kelasnya maka kita akhirnya dapat mengubah budaya positif kelas menjadi budaya sekolah. Selanjutnya kita dengan teman sejawat dan pimpinan yang sepakat ini berusaha menterjemahkan budaya sekolah menjadi Visi Sekolah.

 

E.   Kesimpulan

Dari pembahasan permasalahan diatas akhirnya dapat kita simpulkan:

1.    Materi mulai dari 1,1 Filosofi Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, 1.2 Nilai dan peran guru penggerak, 1.3 Visi Guru Penggerak sangat mendukung pada penyusunan Budaya Sekolah.

2.    Budaya Sekolah ini sangat penting karena akan mengubah perilaku mereka secara sadar dan terus menerus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang di rangkum dalam satu pedoman Profil Pelajar Pancasila.

3.    Budaya sekolah sangat penting dan harus diwujudkan agar nantinya bisa menjadi visi sekolah dan akhirnya nanti anak anak Indonesia dapat menjadi Profil Pelajar Pancasila dan tercapailah Tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU RI Nomor: 20 tahun 2003.

 

F.     Penutup

Demikian tulisan kami tentang Pentingnya Membentuk Budaya Sekolah Dalam Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila, semoga bermanfaat pada kita semua.

Kamis, 24 Juni 2021

BUDAYA POSITIF

 

Menerapkan Budaya Positif pada Siswa prediksi Lulus 2 tahun di SMAN 1 Kepanjen

Oleh: Sujianto, S.Pd (Guru SMAN 1 Kepanjen. CGP angkatan 2 kabupaten Malang)

Pengertian Siswa Prediksi Lulus 2 tahun

Di SMAN 1 Kepanjen dalam pembelajaran menerapkan Sistem Kredit Semester ( SKS). Dalam system SKS ini siswa bisa memilih menyelesaikan belajarnya di tingkat SMA ada 3 yaitu: Lulus 3 tahun, lulus 2 tahun, dan lulus 4 tahun. Untuk di sekolah kita yang lulus 4 tahun tidak dibuka mengingat input dan motivasi siswa yang baik. Sehingga di sekolah ini  hanya ada 2 yaitu lulus 3 tahun atau lulus 2 tahun.

Untuk menentukan siswa yang prediksi lulus 2 tahun ini dilakukan dengan cara siswa mendaftarkan sendiri setelah mereka merasakan pendidikan di SMA ini minimal 2 bulan. Dan selanjutnya kita sesuaikan dengan kuota yang ada dan kemampuan yang mereka miliki apakah layak ataukah tidak. Selanjutnya kita berkomunikasi dengan orang tua apakah mendukung ataukah tidak. Setelah itu semua barulah ditetapkan siswa yang prediksi lulus 2 tahun.

Untuk tahun ajaran 2020/2021 siswa yang mengikuti prediksi lulus 2 tahun sebagai berikut: Jurusan Bahasa 2 siswa, Jurusan MIPA : 11 siswa dan jurusan IPS : 3 Siswa.

Langkah-langkah dalam menyusun kesepakatan kelas secara runut dan jelas 

Kesepakatan kelas adalah suatu langkah awal dalam penerapan budaya positif yang harus dilakukan oleh guru dan murid agar pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Kegiatan dalam pembuatan kelas ini merupakan gambaran awal seorang guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan yang berpihak pada murid atau seorang guru menghamba pada murid.

Adapun Langkah penyusunan kesepakatan kelas yaitu:

1.   Guru menyampaikan apa itu kesepakatan kelas dan apa manfaatnya.

2. Guru menyampaikan rencana program secara umum tentang pembagian waktu tiap semester, skenario pembelajaran dan tujuan akhir dari program ini. Pada kegiatan ini juga meningingatkan kembali bahwa keingingan lulus dua tahun ini adalah pilihan mereka sendiri bukan paksaan orang tua, guru atau pihak yang lain.

3. Siswa berdiskusi untuk mengatur waktu sendiri untuk menuntaskan materi pembelajaran sesuai yang mereka kehendaki dan tidak keluar dari rencana program. Hal ini dilakukan agar siswa sadar dan bebas berpikir secara dewasa mengambil keputusan memilih lulus dua tahun dan menentukan sendiri pembelajarannya. Dalam diskusi ini  akhirnya muncul kesepakatan bersama mereka antara lain: menyelesaikan materi yang belum tuntas untuk semester 3 diselesaikan dalam 1 minggu ini dan mereka mengkomunikasikan dengan guru pengajar, kompak dalam komunitas mereka dan saling bantu apabila ada kesulitan, menyelesaikan nilai yang belum mencapai ketuntasan sesuai standar anak prediksi lulus 2 tahun, mereka sepakat pro aktif untuk penyelesaian pembelajaran

4.   Guru menayakan pada mereka apakah sudah dimiliki hal hal yang harus dijadikan kesepakatan. Dilanjutkan ditulis di papan tulis ide ide untuk kesepakatan tadi.

5.   Siswa menjadikan ide ide tadi untuk menjadi suatu kesepakatan kelas. Dlam hal ini kita senagai guru hanya mengikuti mereka untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab mereka sendiri. Kebebasan berpikir ini juga merupakan tahap mereka mendapatkan kemerdekaan dalam belajar.

6.   Guru membacakan kembali hasil kesepakatan. Dalam hal ini kita sampaikan motivasi kepada mereka akan pentingnya mentaati apa yang sudah dijadikan keputusan. Dan selanjutnya kita menunggu aksi mereka.

 

Tindakan yang dilakukan oleh guru

Mempersilahkan setiap murid untuk mengusulkan kesepakatan kelas. Mempersilahkan mereka untuk berdiskusi dalam memunculkan ide ide. Usulan dari setiap murid diinventarisir untuk dibahas dan diambil sebagai kesepakatan kelas.

Guru mendengarkan apa yang disampaikan murid. Guru bertindak sebagai fasilitator yang mengarahkan jalannya kegiatan diskusi kesepakatan kelas. Semua usulan kesepakatan kelas sebagai budaya positif di sekolah, diambil secara bersama-sama oleh murid dan guru. Jadi tidak ada paksaan ataupun tekanan dari guru. Kesepakatan kelas dibuat dan berlaku selama murid masih di kelas tersebut. Guru Dalam pelaksanaannya perlu konsisten memantau perjalanan kesepakatan kelas. 

 

Percakapan Guru terhadap murid dalam kesepakatan kelas

Guru menyampaikan kepada murid bahwasanya kesepakatan kelas sangat penting. Kesepakatan kelas berasal dari murid, oleh murid dan untuk murid.

Memperhatikan sudut pandang murid, sesuai dengan latar belakang murid di kelaas. Makanya dalam membuat kesepakatan kelas harus bisa dilaksanakan dengan tanggungjawab dan sepenuh hati.

Kita sampaikan tidak ada hukuman dalam pelaksanaan kesepakatan kelas dan tidak juga ada hadiah yang diberikan karena hapy ending dari kesepakatan kelas ini adalah mereka lulus 2 tahun dengan nyaman, aman dan menyenangkan. Tidak ada ancaman terhadap hasil belajar, namun semua diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik dikarenakan ini sudah menjadi pilihan mereka sendiri bukan paksaan. Karena jika tidak bisa dilaksanakan dengan baik, konsekunesinya murid yang akan merasakan juga. Menumbuhkan motivasi Intrinsik adalah tujuan utama dalam membuat kesepakatan kelas.

 

Respon Murid dalam kesepakatan kelas

Murid merespon dengan baik kesepakatan kelas yang akan dibuat dan dilaksanakan. Murid merasa nyaman, aman, merdeka dan bahagia, karena tidak ada pakasaan kekerasan dalam bentuk fisik, psikis, maupun kekerasan dalam bentuk verbal pada kegiatan pembelajaran. hal ini karena kesepakatan kelas dibuat sesuai dengan kondisi murid di kelas ini dengan  melibatkan murid dalam menyusun kesepakatan kelas.

 

Keberhasilan dan Tantangan

Keberhasilan dengan adanya kesepakatan kelas meliputi,

a.    siswa menjadi lebih disiplin dalam menyelesaikan belajarnya.

b.    Siswa merasakan bertanggung jawab pada diri mereka sendiri dan orang tua atas pilihan mereka untuk lulus 2 tahun.

c.    Siswa bisa mengatur waktunya sendiri untuk belajar dan menuntaskannya.

d.    Siswa bisa membuat planning pengaturan waktu untuk mereka sendiri.

e.    Siswa bisa melatih sikap social pada teman, guru dan lainnya.

f.     Siswa menjadi kreatif dalam menyelesaikan pembelajarannya.

g.    Siswa dapat berinovasi dalam pelaksanaan pembelajaran karena ada daring juga ada luring.

 

Tantangan yang dihadapi  dengan adanya kesepakatan kelas

a.    Siswa mampu atau tidak untuk mengatur waktu untuk penyelesaian pembelajaran.

b.    Siswa harus menyelesaikan tugas dan maetri yang banyak dalam waktu yang pendek.

c.    Dapatkah mereka menjalankan kewajiban spiritual sikap spiritual mereka dengan adanya tugas yang banyak.

d.    Berrkomunikasi dan berkolaborasi dengan guru yang secara bersamaan.

e.    Karakter murid yang berbeda beda, apakah mereka bisa bertanggung jawab.

f.     Apabila ada siswa yang tidak mampu melaksanakan atau setelah menjalankan merasa berat untuk melanjutkan. Hal ini dapat terjadi karena murid memiliki kapasitas dan kodrat masing masing.

 

Dokumentasi kegiatan


Pelaksanaan Pengarahan awal pada Penentuan kesepakatan


 


Hasil kesepakatan yang telah diperoleh.


                     Pelaksanaan hasil kesepakatan dengan penelusuran mata pelajaran yang belum selesai.




Invetarisasi ide yang akhirnya dijadikan suatu kesepakatan

 



Dukungan dari teman sejawat untuk pelaksanaan hasil kesepakatan




Konsultasi dari siswa yang mengalami hambatan atau permasalahan pada pelaksanaan kesepakatan




Siswa yang mengalami kendala atau permasalahan dengan inisitif sendiri menemui kita untuk berdiskusi mencari solusi.




Aksi nyata Modul 3.3

  AKSI NYATA MODUL 3.3   PENGELOLAAN PROGRAM  YANG BERDAMPAK PADA MURID Oleh :  Sujianto, S.Pd Guru Matematika SMAN 1 Kepanjen       C...