KONEKSI
ANTAR MATERI
MODUL
1.4.a. 9
PENTINGNYA
MEMBENTUK BUDAYA SEKOLAH
DALAM MEWUJUDKAN VISI SEKOLAH
Oleh:
Sujianto, S.Pd
Guru
SMAN 1 Kepanjen
CGP
Angkatan 2 Kab. Malang
A.
Latar
Belakang
Dalam
Tujuan Pendidikan nasional kita mengetahui bahwa yang akan diwujudkan adalah
perubahan perilaku siswa. Dalam kaitannya perubahan perilaku ini perlu adanya
pembiasaan yang dilakukan secara kontinyu dan tegas serta adanya kontrol keberhasilannya.
Guru sebagai aktor utama tentunya mempunyai peranan yang besar dalam
pelaksanaannya. Tentunya seorang guru harus mempunyai kompetensi dan kemampuan
yang baik. Siswa sebagai obyek yang diharapkan untuk mengalami perubahan
perilaku harus diberi kebebasan dalam menentukan kearah mana masa depannya
ingin di gapai. Munculnya perubahan perilaku pada siswa diharapkan muncul
secara sadar dan dari mereka sendiri (Instrinsik), bukan karena keterpaksaan
atau tekanan dari pihak luar (ekstrinsik).
Budaya
sekolah merupakan salah satu implementasi yang harus dibangun pada suatu
lembaga sekolah agar terjadi pembiasaan dan keterlaksanaan disiplin positif
yang ada di sekolah tersebut. Tentunya hal ini harus dilaksanakan dan
dikerjakan oleh semua unsur yang ada di sekolah tersebut. Tetapi semuanya
kembali pada Guru yang memegang peranan penting pada pelaksanaannya.
Hal
inilah yang menjadikan kami untuk menuliskan “Pentingnya Membentuk Budaya Sekolah
Dalam Mewujudkan Visi sekolah”
B.
Rumusan
Masalah
Dalam pembuatan rumusan masalah ini kita
batasi dengan materi yang sudah kita dapatkan pada modul modul sebelumnya pada
kegiatan Pendidikan Guru Penggerak yaitu:
1. Modul
1.1 Filosofi Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara
2. Modul
1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak
3. Modul
1.3 Visi Guru Penggerak
4. Modul
1.4 Budaya sekolah
Adapun Rumusan masalah yang
dapat kita buat yaitu:
1. Bagaimana
bagan atau peta konsep yang menggambarkan kaitan antara materi dalam modul ini?
2. Apakah
Pengertian Budaya Sekolah dan Budaya Positif?
3. Siapakah
Yang berperan dalam mewujudkan budaya positif di Sekolah?
4. Apakah
Landasan dari budaya positif?
5.
Bagian mana dari modul
sebelumnya yang berkaitan dan mendukung budaya positif?
6.
Bagaimana peran guru
penggerak dalam menularkan kebiasaan baik kepada guru lain dalam membangun
budaya positif di sekolah?
7.
Bagaimana guru
penggerak bisa menumbuhkan budaya positif di kelas menjadi budaya positif
sekolah dan menjadi visi sekolah?
C.
Maksud
dan Tujuan Penulisan
Maksud dan tujuan penulisan ini adalah:
1. Dapat
membuat peta konsep yang menggambarkan kaitan antara materi dalam modul ini.
2. Dapat
menjelaskan pengertian Budaya sekolah dan budaya positif.
3. Dapat
mengetahui siapa saja yang berperan dalam mewujudkan budaya di sekolah..
4. Dapat
menjelaskan landasan dari budaya positif.
5. Dapat
menjelaskan dari modul sebelumnya yang terkait dan mendukung budaya positif.
6. Dapat
menjelaskan peran guru penggerak dalam menularkan kebiasaan baik kepada guru
lain dalam membangun budaya positif di sekolah.
7. Dapat
menjelaskan bagaimana guru penggerak dapat menumbuhkan budaya positif di kelas
menjadi budaya positif sekolah dan menjadi visi sekolah.
D.
Pembahasan Masalah
1.
Bagan
atau peta konsep yang menggambarkan kaitan antara materi dalam modul ini
Dari Bagan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Dalam
membentuk Budaya sekolah seorang guru harus memahami tentang Filisofi
pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara, nilai dan Peran guru penggerak serta
visi Guru Penggerak.
Karena
seorang guru merupakan komponen utama pada perwujudan budaya sekolah terjadi
interaksi antara guru dan murid dalam membangun budaya sekolah. Dengan memahami
materi pada modul sebelumnya seorang guru dapat mengarahkan dan menuntun siswa
dalam membuat Budaya sekolah melalui pembuatan Kesepakatan dengan tujuan akhir
seperti yang tercantum pada Tujuan Pendidikan Nasional dan di wujudkan dalam
bentuk Profil Pelajar Pancasila.
2. Apakah
Pengertian Budaya Sekolah dan Budaya Positif?
2.1 Pengertian Budaya Sekolah
Budaya sekolah menurut Fullan (2007) adalah
keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang terlihat dari bagaimana sekolah
menjalankan aktivitas sehari-hari.
Budaya Sekolah menurut Deal dan Peterson (1999) mendefinisikan budaya
sekolah sebagai berbagai tradisi dan kebiasaan keseharian yang dibangun dalam
jangka waktu yang lama oleh guru, murid, orang tua, dan staf administrasi yang
bekerjasama dalam menghadapi berbagai krisis dan pencapaian.
Dari kedua pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa budaya sekolah merupakan nilai-nilai dan
keyakinan-keyakinan yang dibangun dalam jangka waktu lama yang tercermin pada
sikap keseharian seluruh komponen sekolah.
Dalam kebanyakan sekolah di Indonesia, contoh budaya
sekolah yang sudah berjalan dengan baik adalah budaya senyum, salam, dan sapa.
Tentunya, budaya sekolah tersebut masih perlu dilaksanakan mengingat perannya
yang dapat membuat sekolah menjadi lingkungan yang nyaman dan aman..
2.2 Pengertian Budaya Positif.
Budaya positif di sekolah ialah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan,
dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat
berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab
3. Siapakah
Yang berperan dalam mewujudkan budaya positif di Sekolah?
Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang peranan sentral. Guru
perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik
lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga
diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk
menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
Pihak yang berperan lainnya yaitu seluruh warga sekolah semuanya juga
sangat berperan pada perwujudan Budaya Positif yang Akhirnya jadi budaya
sekolah. Selain warga sekolah juga harus ada dukungan dari pihak luar sekolah
misalnya orang tua atau wali serta Dinas yang terkait dengan pendidikan.
Sehingga dapat kita simpulkan yang berperan dalam mewujudkan budaya positif di
seklah meliputi Guru, Murid, Teman sejawat, Tenaga administrasi pendidikan,
Stick Holder sekolah ( Kepala sekolah, wakil Kepala sekolah dan Staff). Selain
itu yang berperan orang tua selaku pengontrol keterlaksanaan budaya di rumah
dan juga sebagai pembiayaan. Juga tidak ketinggalan yang dapat berperan sebagai
control budaya sekolah adalah masyarakat
dan Dinas Pendidikan terkait.
4. Apakah Landasan dari budaya positif?
Dalam
mewujudkan budaya positif seorang guru merupakan pemegang peran kunci
keberhasilannya. Guru akan berhasil mewujudkan Budaya positif jika memahami dua landasan berikut:
1.
Posisi
Kontrol Guru
2.
Disiplin
Positif
4.1 Posisi
Kontrol Guru
Bagi guru sangatlah penting untuk
memahami bagaimana guru harus memposisikan diri saat berhadapan dengan murid. Kita
harus bisa melakukan refleksi “Guru seperti apakah kita selama ini?”. Dalam
komponen kelas, posisi guru dapat dikatakan sebagai penggerak utama. Hal ini
mewujudkan juga adanya kontrol guru dalam proses belajar mengajar.
Kita dapat membuat renungan pada diri kita dengan pertanyaan berikut ini.
Posisi control guru seperti apakah yang dapat mewujudkan budaya positif di
sekolah? Selama menjadi guru, sudahkah kita memposisikan diri kita secara
tepat?
Berikut ada table 5 posisi guru menurut Gossen, 2004
Hal ini
dilakukan karena pendidik sebagai pamong yaitu “menuntun” atau memberikan
‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak diberi
kebebasan, namun perlu diberi tuntunan dan arahan agar anak tidak
kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Oleh karena itu, pada kesehariannya,
pamong juga berperan sebagai pengontrol untuk mengingatkan murid jika berada
dalam bahaya. Pada kesempatan lain, guru juga dapat berperan sebagai teman
ketika berinteraksi agar dapat memahami murid dan membangun kedekatan.
Tetapi
untuk posisi guru yang pertama yaitu guru penghukum dan pembuat rasa bersalah
dihindarkan untuk dilaksanakan dikarenakan akibat karakter yang terbentuk
sangat jelek sekali. Selain itu dengan kita menggunakan posisi control guru
yang pertama (guru penghukum) dan kedua (guru pembuat siswa bersalah dampak
psikologis anak terhadap pembelajaran tidak semangat. Juga dampak yang terjadi
jika guru menerapkan posisi guru yang jedua akibat psikologinya murid kelihatan
cemas dan ada perasaan yang tidak percaya diri.
Hal dapat kita simpulkan kita dapat
memposisikan diri pada posisi 3, 4 dan 5. Atau dengan kata lain kita adakan perubahan
pembukaannya pada penyelesaian masalahnya. Misalkan siswa kita ketahui
melanggar kesepakatan maka kita awali
peembukan kita sebagai guru Penggerak;, Kalau kita gunakan posisi control guru ketiga (psisi teman. Nah
pada akhirnya kita digunakan posisi yguru
yang kelima yaitu posisi Manajer.
4.2
Disiplin Positif
4.2.1
Hukuman
dan Disiplin
Dalam kita membicarakan disiplin tentunya
sebagai pertama kali yang muncul adalah disiplin dan hukuman. Merka beranggapam
untuk mendisiplikan siswa maka perlu dilakukan hukuman bagi mereka yang
melanggar. Padahal disiplin dan hukuman adalah dua kata berbeda dan makna
berbeda pula.
Dalam pandangan orang sering melihat
'disiplin' sebagai hal yang sama dengan 'hukuman', tetapi disiplin dan hukuman adalah dua hal yang
berbeda. Disiplin merujuk pada praktik mengajar atau melatih seseorang untuk
mematuhi peraturan atau perilaku dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Sementara hukuman dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku murid, Srdangkan
disiplin dimaksudkan untuk mengembangkan perilaku para murid tersebut serta
mengajarkan murid tentang kontrol dan kepercayaan diri dengan berfokus pada apa
yang mampu mereka pelajari.
Berikut Perbedaan Disiplin dan Hukuman (CJCP,
2012)
Disiplin |
Hukuman |
Memberikan murid
alternatif positif |
Memberi tahu murid apa yang tidak
boleh dilakukan tanpa
menjelaskan alasannya |
Teratur, berkelanjutan, konsisten dan bertekad pada proses. Berorientasi pada
instruksi. |
Terjadi hanya
ketika seorang murid
kedapatan melakukan kesalahan atau mengalami masalah. Ini adalah tindakan terencana yang bertujuan membuat murid/murid
merasa malu atau bahkan
terhina. |
Ucapan terima kasih
dan penghargaan atas upaya dan perilaku yang baik |
Hanya
bereaksi kasar terhadap perilaku buruk |
Memperhatikan
sudut pandang murid; murid mengikuti aturan karena mereka
membahas dan menyepakatinya |
Tidak pernah
atau jarang mendengarkan murid; murid mengikuti aturan
karena mereka diancam atau disuap |
Konsisten, memiliki panduan yang
tegas |
Mengontrol, mempermalukan, menertawakan |
Positif, menghormati murid |
Negatif dan tidak
sopan terhadap
murid |
Tanpa kekerasan fisik dan verbal |
Dengan
kekerasan fisik, verbal,
dan agresif pada murid |
Selanjutnya kita bisa
memunculkan pertanyaan , “jika tidak ada hukuman, maka bagaimana
menghadapi murid yang melakukan pelanggaran atau kesalahan?” Kita harus
berpikir bijak pada anak didik kita, bahwa pelanggaran atau kesalahan adalah kesempatan
anak untuk belajar. Jika ditangani dengan tepat, kesalahan dapat menjadi momen
yang baik agar anak mengetahui hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan lagi di
masa mendatang. Anak juga akan lebih bertanggung jawab serta mengetahui
bagaimana memperbaiki situasi yang dihadapinya.
Karena seorang anak
memiliki budi pekerti maka kita berharap dari kesalahan yang telah mereka
lakukan mereka dapat mengambil hikmahnya atau mengajak pada anak untuk berpikir
positif setiap mereka melakukan perbuatan baik yang benar atau ksalahan. Menurut
Nelsen (2021), berikut adalah cara kita merespon kesalahan agar menjadi
pembelajaran yang baik bagi anak.
1.
Merespon kesalahan dengan kasih sayang dan kebaikan
dibanding menyalahkan, menuduh dan menceramahi.
2.
Berikan pertanyaan yang bisa menimbulkan diskusi tentang
konsekuensi yang mungkin terjadi dari tindakannya.
3.
Melihat kesempatan terjadinya kesalahan untuk didiskusikan
bersama anak atau dengan teman-teman lain.
Jika diperhatikan dengan
seksama, ketiga cara diatas lebih mengedepankan konsekuensi daripada hukuman.
Mengapa konsekuensi lebih dipilih untuk mewujudkan budaya positif dibanding
hukuman? Hukuman bersifat satu arah dari guru ke murid dan seringkali tidak
berhubungan dengan kesalahan murid. Sedangkan menurut Nelsen (2021), prinsip
konsekuensi fokus pada masalah dan solusi sehingga konsekuensi berhubungan
dengan perilaku, penuh hormat kepada murid, bersifat masuk akal dan bertujuan
untuk membantu murid belajar.
4.2.2 Disiplin Positif
Menurut Nelsen, Lott & Glenn, 2000 Disiplin positif
adalah sebuah model disiplin yang difokuskan pada perilaku positif murid agar
menjadi pribadi yang penuh hormat dan bertanggung. Disiplin positif mengajarkan
keterampilan sosial dan emosional dan keterampilan kehidupan yang penting
dengan cara penuh hormat dan membesarkan hati tidak hanya bagi murid
tetapi juga bagi orang dewasa (termasuk orangtua, guru, staf administrasi dan
lainnya). Kebalikan dari disiplin positif adalah disiplin negatif yang berfokus
pada hukuman. Disiplin negatif cenderung menghambat perkembangan sosial,
emosional dan keterampilan hidup murid. Dengan disiplin positif, guru
diharapkan dapat mewujudkan budaya positif baik di kelas maupun sekolah.
Kriteria
Disiplin Positif
Menurut Nelsen (2021 panduan dalam membangun
hubungan dengan murid. Sebagai berikut:
1.
Bersikap
baik dan tegas di saat yang bersamaan (menunjukkan sikap hormat dan memberi
semangat).
2.
Membantu
murid merasa dihargai dan memiliki keterikatan antara dirinya dengan guru dan
teman di kelasnya, sehingga ia merasa menjadi bagian dari kelas.
3.
Memiliki
komitmen untuk mempertimbangkan efektivitas dan dampak jangka panjang bagi
proses belajar murid dari tindakan yang diambil (misalnya; pemberian hukuman
bersifat dapat menyelesaikan masalah dalam jangka pendek, tetapi berpotensi
memberikan dampak negatif dalam proses belajar pada anak yang bersifat jangka
panjang). Dengan begitu, pendidik fokus pada perubahan dan peningkatan perilaku
yang menetap, bukan hanya pada perilaku yang berhasil ditampakkan pada saat
itu.
4.
Menerapkan
disiplin positif berarti membekali murid dengan keterampilan sosial dan
mendukung pertumbuhan karakter yang baik seperti rasa hormat, kepedulian
terhadap orang lain, komunikasi yang efektif, pemecahan masalah, tanggung jawab
kontribusi, kerja sama.
5.
Mengajak
murid untuk menemukan bagaimana mereka mampu dan dapat menggunakan kekuatan
diri mereka dengan cara yang membangun.
Kesepakatan
Kelas
Sebagai langkah awal kita dalam membentuk
displin positif yang akhirnya menjadi budaya positif yaitu dengan membuat
Kesepakatan Kelas. Kesepakatan ini dihasilkan pada saat guru dan murid terjadi
interaksi. Seorang guru memberikan kebebasan pada murid untuk menyusun
kesepakatan kelas sendiri, tentunya kita bisa mengarahkan agar kesepakatannya
tidak keluar dari nilai nilai kemanusiaan. Adapun langkah langkah pembuatan
Kesepakatan Kelas atau panduannya adalah:
1. Tanya
pendapat murid tentang harapan kelasnya secara individu, kelompok atau survey
kelas
2. Tanyakan
ide pada murid tentang kelas impian
3. Diskusikan
tentang kesimpulan ide kelas impian
4. Ubah
ide tadi menjadi kesepakatan kelas
5. Melakukan
refleksi secara rutin
6. Melakukan
monitoring keterlaksanaan kesepakatan
Dalam menyusun kesepakatan kelas, guru perlu
mempertimbangkan hal yang penting dan hal yang bisa dikesampingkan. Murid dapat
mengalami kesulitan dalam mengingat banyak informasi, jadi susunlah 4 - 8
aturan untuk setiap kelas. Jika berlebihan, murid akan merasa kesulitan dan
tidak mendapatkan makna dari kesepakatan kelas tersebut. Kesepakatan harus
disusun dengan jelas sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan
dari mereka.
Kesepakatan yang disusun sebaiknya mudah
dipahami dan dapat langsung dilakukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan kelas
gunakan kalimat positif seperti, “Saling menghormati” ,“Berjalan jika berada di
lorong kelas”. Kalimat positif lebih mudah dipahami murid dibandingkan kalimat
negatif yang mengandung kata seperti, “dilarang” atau “tidak”.
Kesepakatan perlu dapat diperbaiki dan
dikembangkan secara berkala, seperti setiap awal semester. Untuk mempermudah
pemahaman murid, kesepakatan dapat ditulis, digambar, atau disusun sedemikian
rupa sehingga dapat dipahami dan disadari oleh murid. Strategi lain adalah
dengan mencetaknya di setiap buku laporan kegiatan murid. Hal ini menjadi
strategi yang baik untuk meningkatkan komunikasi antara orang tua dan pihak
sekolah.
5. Bagian mana dari modul sebelumnya yang
berkaitan dan mendukung budaya positif?
Dari modul sebelumnya tentunya sangat
berkaitan sekali dalam mendukung budaya positif.
Dengan kita mempelajari Filosofi Ki hajar
Dewantara kita mendapatkan bahwa dalam tujuan Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan
kebahagian yang setinggi tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota
masyarakat. Dlam filosofinya Ki Hajar Dewantara juga kita dapatkan Setiap anak
hidup dan tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri, Pendidik hanya dapat menuntun
dan merawatnya saja. Dan dalam mendidik perlu diperhatikan kodrat alam dan
kodrat Zaman.
Dari uraian diatas tentunya kita bisa melihat
kaitannya dalam membentuk budaya Positif di sekolah. Karena seorang guru hanya
bisa menuntun anaknya untuk mewujudkan budaya positif. Diharapkan budaya
positif itu lahir dari usaha sadr murid untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Dan juga dengan kita memahami filosofi KI hajar Dewantara kita dapat memunculkan
pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan.
Dengan kita memahami dan mengerti nilai dan
peran guru penggerak kita dapat mengkaitkan dengan mewujudkan Budaya Positif
pada sekolah kita. Dengan nilai guru penggerak mandiri, kolaboratif, inovatif,
kreatif dan berpihak pada murid kita dapat membawa atau mendampingi siswa dalam
membuat kesepakatan kelas dan pada akhirnya menjadi pengontrol dan manajer pada
pelaksanaan kesepakatan tersebut. Dari Kesepakatan tersebutlah akan lahir
disiplin positif dan akhirnya menjadi budaya sekolah.
Dengan kita mengetahui peran guru penggerak yaitu:
Pemimpin
pembelajaran, Menggerakkan Komunitas Praktisi, Menjadi Coach Bagi Guru Lain,
Mendorong Kolaborasi Antar Guru,
Mewujudkan Kepemimpinan Murid kita dapat melakukan kolaborasi
dengan teman sejawat, dengan pimpinan atau dengan orang tua agar dapat
mendukung terwujudnya budaya sekolah. Dari sini kita juga dapat menempatkan
posisi guru yang mana yang tepat dalam membentuk budaya Positif. Dalam materi
dan peran guru penggerak kita juga diajarkan untuk mengetahui emosi orang lain
khususnya siswa,. Dengan mengetahui emosi kita dan orang lain menjadikan kita
dapat menentukan posisi guru mana yang akan kita pilih.
Dengan kita mempelajari materi visi Guru
penggerak kita dapat mengarahkan budaya positif apa yang akan kita inginkan.
Disini dengan mengedepankan berpikir positif dan dengan menggunakan paradigma
Inkuiri Apresiatif kita dapat menentukan tahapan tahapan dalam BAGJA akhirnya
dapat diketahui kegiatan atau budaya apa yang harus kita kembangkan di sekolah
kita.
Disini guru diharapkan punya mimpi ingin
muridnya itu menjadi apa dan bagaimana caranya agar semua siswa dapat menikmati
merdeka belajar secara terus menerus dan konsisten. Dengan kita mempunyai angan
angan atau mimpi murid impian inikita juga dapat menempatkan posisi Guru yang
terbaik dalam membuat Disiplin positif.
6.
Bagaimana peran guru penggerak dalam
menularkan kebiasaan baik kepada guru lain dalam membangun budaya positif di
sekolah?
Sesuai dengan peran guru
penggerak yaitu Pemimpin
pembelajaran, Menggerakkan Komunitas Praktisi, Menjadi Coach Bagi Guru Lain,
Mendorong Kolaborasi Antar Guru
maka kita bisa mengajak dan berkolaborasi dengan teman sejawat untuk membentuk
atau menciptakan budaya Positif yang akhirnya menjadi budaya sekolah yang pada
akhirnya semua guru dapat mengontrol pelaksanannya. Dengan kita menjadi coach
pada teman sejawat kita dapat membantu mereka cara berkomunikasi dengan murid
sesuai yang kita dapatkan di peran dan nilai guru penggerak kita, dalam
menyusun
Kesepakatan
kelas.Disini kita juga bisa menuampaikan apa yang kita dapatkan pada mereka
dengan cara pengimbasan, Dengan pengimbasan inilah kita dapat membentuk
komunitas praktisi yang mendukung terwujudnya budaya positif. Kita berprinsip
jika kita dekati dengan hati dan perasaan tentunya ada dari teman sejawat yang
mau untuk mendukung.
7.
Bagaimana guru penggerak bisa menumbuhkan
budaya positif di kelas menjadi budaya positif sekolah dan menjadi visi
sekolah?
Dengan terciptanya
budaya positif di kelas yang kita ajar, dapat disampaikan pada teman sejawat
dan pimpinan untuk mengkritik atau memberikan saran tentang budaya positif di
kelas kita. Dengan mereka memberikan saran dan kritik setidaknya mereka tahu
kalau kita mencoba membuat budaya positif. Karena seorang guru adalah tauladan
murid apabila sesudah memberikan saran dan kritik tentunya mereka akan tahu
diri dan berusaha untuk mengikuti jejak kita. Apabila mayoritas guru sudah
menciptakan dan melaksanakan budaya positif di kelasnya maka kita akhirnya
dapat mengubah budaya positif kelas menjadi budaya sekolah. Selanjutnya kita
dengan teman sejawat dan pimpinan yang sepakat ini berusaha menterjemahkan
budaya sekolah menjadi Visi Sekolah.
E.
Kesimpulan
Dari pembahasan permasalahan diatas akhirnya
dapat kita simpulkan:
1.
Materi mulai dari 1,1
Filosofi Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, 1.2 Nilai dan peran guru
penggerak, 1.3 Visi Guru Penggerak sangat mendukung pada penyusunan Budaya Sekolah.
2.
Budaya Sekolah ini
sangat penting karena akan mengubah perilaku mereka secara sadar dan terus
menerus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang di rangkum dalam satu
pedoman Profil Pelajar Pancasila.
3.
Budaya sekolah sangat
penting dan harus diwujudkan agar nantinya bisa menjadi visi sekolah dan
akhirnya nanti anak anak Indonesia dapat menjadi Profil Pelajar Pancasila dan
tercapailah Tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU RI Nomor: 20
tahun 2003.
F.
Penutup
Demikian tulisan kami tentang Pentingnya Membentuk Budaya Sekolah Dalam Mewujudkan
Profil Pelajar Pancasila, semoga bermanfaat pada kita semua.